“Kebijakan Pangan Pada Sektor
Pertanian”
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan doktor lulusan Institut
Pertanian Bogor. Dia menulis disertasi bertajuk 'Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan sebagai upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi
Politik Kebijakan Fiskal'.
Pada awal pemerintahannya di
tahun 2004 lalu, SBY sebenarnya sudah menyusun sebuah Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) selama 20 tahun ke depan. Dalam rencana pembangunan yang
merupakan pengganti GBHN di era Orde Baru itu, SBY sebenarnya sudah
dengan jitu bisa memetakan berbagai masalah yang akan dihadapi Indonesia ke
depan. Dalam rancangan itu sudah disebutkan, Indonesia akan menghadapi masalah
seperti krisis air, krisis energi dan krisis pangan.
Pemerintahan SBY sendiri
dalam RPJP sudah menyebutkan berbagai ancaman krisis itu harus diantisipasi
sejak dini. Khusus soal pangan, dalam rancangan itu juga disebutkan bahwa
perekonomian Indonesia akan ditopang oleh sektor pertanian.
Pembenahan sektor pertanian,
termasuk mendorong pasokan bahan pangan dari dalam negeri dinilai SBY akan menyejahterakan
masyarakat. Sebab, seperti ditulis presiden dalam salah satu bab
disertasinya, "semakin tinggi upah di pertanian semakin berkurang kemiskinan di
pedesaan".
Menurut Koordinator Aliansi Desa
Sejahtera (ADS) Tejo Wahyu Jatmiko dimulai ketika SBY menyusun 11 prioritas
pembangunan nasional. Dalam daftar ini yang menjadi prioritas utama
adalah reformasi birokrasi dan tata kelola disusul pendidikan dan
penanggulangan kemiskinan. Sementara ketahanan pangan termasuk masalah
pertanian di dalamnya ditaruh pada posisi nomor
lima. “Akibatnya perhatian pemerintah terhadap pertanian sangat kecil,”
kata Tejo kepada Gresnews.com, Selasa (29/4).
Karena bukan merupakan prioritas
pertama, maka eksekutif dan legislatif hanya bisa memberikan budget sekitar
6-7% dari total APBN. Ini sangat jauh dari saran lembaga pangan dunia FAO yang
menyatakan negara hendaknya menyisihkan 20 persen anggaran untuk memenuhi hak
atas pangan rakyatnya di tengah situasi pangan yang bergejolak. “Prioritas yang
rendah ini juga mengakibatkan lemahnya implementasi kebijakan pangan di
lapangan,” kata Tejo.
Karena hal tersebut diatas, untuk itu Bapak Presiden SBY melakukan
beberapa kebijakan pangan khususnya sektor pertanian yang akan kita bahas kali
ini. Dari banyaknya kebijakan yang telah dilakukan, saya hanya akan membahas 2
kebijakan yang menurut saya tidak perlu untuk dilakukan. Berikut pembahasannya:
A. Kebijakan dengan Menaikan Impor Pangan
Terlepas dari karya tulis yang dihasilkan
presiden pada 2004 lalu itu, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) mencatat realisasi kebijakan selama hampir 10 tahun SBY menjabat presiden, tak sesuai disertasinya. Dua
kali periode di kursi RI 1, pembukaan keran impor, justru menjadi pilihannya
buat menurunkan harga pangan.
Alasannya, cadangan bahan pangan utama nasional seperti beras,
jagung, kedelai, gula, daging sapi, cabai dan bawang merah tidak mencukupi
kebutuhan sehingga memicu lonjakan harga. Hal itu nampak dari data yang
dihimpun Bappenas terhadap tujuh jenis bahan pangan utama yang dikonsumsi
masyarakat Indonesia.
Menurut data yang dikutip merdeka.com
dari laporan Pencapaian Kinerja Pembangunan Periode Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) I dan KIB II terbitan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) catatan importasi bahan pangan utama
sepanjang KIB II meningkat cukup besar dibanding dengan KIB I.
Impor pangan Indonesia sejak tahun
2009-2012 cenderung meningkat. Angka tertinggi dicapai pada tahun 2011 dengan
volume mencapai 22,9 juta ton dan nilai impor mencapai US$20,58 miliar. Hal ini
jelas menunjukkan pemerintah tidak berpihak pada produsen pangan skala kecil
sebagai tulang punggung ketahanan pangan nasional.
Untuk itu karena mayoritas orang
Indonesia mengkonsumsi nasi/beras sebagai bahan makanan pokok, maka saya akan
membahas tentang kebijakan para petani di negeri ini.
Hasil
survei Petani Center NGos tahun 2007
menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah
0,5 hektare kalah dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota
besar. Para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektare untuk sekali musim
tanam memerlukan biaya produksi sebanyak Rp 2,5 juta, termasuk biaya sarana
produksi, upah pekerja, pemeliharaan, dan lain-lain.
Sementara itu, hasil dari
produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektare yang dijual, setelah
sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp 3,5
juta hingga Rp 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp 1 juta sampai Rp 2
juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapatkan laba Rp
700.000 per bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga beras petani
semakin anjlok, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh
para petani negeri ini.
B. Kebijakan Peluncuran Perpes 39/2014
Di tengah kebutuhan mendesak akan
kemandirian dan konsolidasi modal dalam negeri yang melibatkan tenaga dan modal
produktif rakyat petani sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, rezim SBY justru
melahirkan kebijakan liberalisasi sektor pertanian. Pada 23 April 2014 lalu,
Perpres 39/2014 tentang “Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang
Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal”
diberlakukan. Pepres tersebut semakin meyakinkan penyimpangan ke arah
liberalisasi penuh sistem ekonomi Indonesia.
Diakhir periode kekuasaan, SBY
justru meninggalkan kebijakan yang akan semakin menyingkirkan petani dan
pertanian dari tangan rakyat. Sektor Pertanian dalam Perpres tersebut dijadikan
salah satu bidang usaha yang diliberalisasi dengan kepemilikan modal asing
30-95% (daftar terlampir). Perpres tersebut lahir dari pelakasnaan UU No
25/2007 Tentang Penanaman Modal yang sangat liberal. Kebijakan tersebut berdampak
pada tersingkirnya tenaga produktif pertanian, baik dalam bentuk tenaga
produksi tani dan modal.
Dibukanya investasi pertanian
pangan, industri bibit hingga GMO kepada investor asing, semakin menandakan
bahwa rencana pembangunan pertanian nasional kita bukan mentransformasikan petani menjadi pemilik dan pelaku usaha modern yang disupport pemerintah
melalui tanah, modal dan teknologi dalam skema reforma agraria.
Dibukanya investasi ini akan
semakin membawa perubahan aktor pertanian pangan ke arah penguasaan korporasi,
ini melanjutkan trend yg telah terjadi, dimana jumlah petani menurun
hingga 5,04 juta rumah tangga dan jumlah perusahaan pertanian pangan yg
menguasai pangan masyarakat semakin meningkat hingga 5.486 perusahaan (Sensus
Pertanian 2013).
Potret buram gagalnya kebijakan
pangan pemerintahan SBY ini, menurut Koordinator Pokja Beras ADS Said Abdullah
bisa dilihat dari beberapa indikator. Pertama, dari sisi jumlah rumah tangga
pertanian. Selama sepuluh tahun belakangan ini dari tahun 2003-2013, jumlah rumah tangga petani menghilang
sebesar 5 juta rumah tangga. Mereka mayoritas adalah petani dengan lahan
kurang dari 1000 m2. Jika di tahun 2003 masih ada sekitar 31,17 juta rumah
tangga, maka di tahun 2013 hanya tersisa 26,13 juta rumah tangga.
Selain itu, lahan pertanian juga menyusut rata-rata seluas 110.000 hektare setiap tahunnya.
Padahal di satu sisi untuk hal ini pemerintah telah menerbitkan UU Nomor
14/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. “Hanya saja
implementasinya sangat lemah karena diserahkan kepada provinsi dan kabupaten
tanpa ada koordinasi dan rencana yang berkesinambungan,” kata Said kepada Gresnews.com.
1. Meningkatkan
anggaran APBN untuk pupuk murah dan bersubsidi dari tahun 2004 sampai sekarang,
yang meningkat dari Rp 1,8 triliun menjadi Rp 5,8 triliun, atau naik sebesar 350 %.
2.
Meningkatkan Anggaran untuk benih unggulan gratis dulu
Rp 80,9 miliar kini menjadi Rp 1 triliun, atau meningkat 1300 %.
3.
Meningkatkan Subsidi bunga untuk petani plasma di
perkebunan jumlahnya sekitar Rp 1 triliun.
4.
Pada tahun 2007 sektor pertanian secara umum telah
terjadi kemajuan. Ada peningkatan produksi padi, peternakan, perikanan dan
perkebunan. Ada peningkatan penanaman modal, baik modal dalam negeri maupun
modal asing.
Kerugian atas 2 kebijakan yang telah
dibuat:
1.
Pertanian kini tidak lagi menjadi penyumbang terbesar
pertumbuhan ekonomi dimana sumbangannya sejak 2007-2013 hanya sebesar rata-rata
3-4 persen. Jika dibandingkan dengan sektor jasa dan properti yang menyumbang
pertumbuhan hingga 8-9 persen.
2.
Berkurangnya jumlah petani yang ada di Indonesia.
3.
Berkurangnya lahan untuk pertanian karena
pengalihfungsian atas industrialisasi perusahaan.
4.
Impor yang dilakukan pemerintah menimbulkan inflasi
yang tinggi, karena impor yang dilakukan lebih banyak dibandingkan dengan
ekspornya.
5.
Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal
kemampuannya masih di bidang agraris.
6.
Para petani mendapatkan upah yang sangat kecil
dibandingkan dengan upah yang ada di perkotaan.
7.
Jumlah kemiskinan di pedesaan meningkat.
Kesimpulan :
Pemerintah menargetkan
kemiskinan turun hingga 8 persen pada kenyataannya angka kemiskinan masih
relatif tinggi terutama di pedesaan dimana sebagain besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani dan nelayan. Pada tahun 2013 angka kemiskinan
mencapai 11,4 persen atau 28,1 juta orang. Angka ini memang turun hingga 2
persen jika dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 13.33 persen.
Sementara pada tahun 2012,
walaupun menurun justru Indeks Kedalaman Kemiskinan di pedesaan meningkat dari
2,36 menjadi 2,42. Adapun Indeks Keparahan Kemiskinan di pedesaan juga
meningkat dari 0,59 menjadi 0,61.
Setelah
membahas kebijakan-kebijakan tersebut di atas, maka dapat saya simpulkan bahwa
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kali ini sangat tidak membantu para
petani, Produksi dalam negeri semakin tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam
negeri, bahkan para petani banyak yang mengalokasikan lahan pertaniannya
menjadi lahan industri. Kemiskinan di daerah perdesaan lebih buruk dari daerah
perkotaan. Jika demikian maka pembangunan sektor pertanian belum bisa
memberikan dampak yang besar pada petani. Petani masih berstatus warga miskin.
Saran saya untuk kebijakan di sektor pertanian masa mendatang yaitu:
1
Memulihkan kemampuan produsen pangan skala kecil
dengan menata sumber-sumber agraria.
2
Meningkatkan investasi publik untuk pangan.
3
Melindungi pasar pangan lokal dari liberalisasi.
4
Menghentikan pemberian lahan kepada perusahaan
besar dan konversi lahan pangan.
5
Memperbaiki tata kelola pangan nasional.
6
Melakukan diversifikasi pangan sesuai potensi
lokal.
7
Pemanfaatan inovasi dan teknologi yang bisa
dikuasai penghasil pangan skala kecil.
Sumber:
http://sbykita.wordpress.com/sby-untuk-pertanian/
0 comments:
Post a Comment
Selamat datang di blog saya
Jangan lupa untuk meninggalkan komentar anda ya sobat.
Sangat diharapkan menggunakan kata yang sopan
dan tidak mengandung unsur pornografi maupun SARA.
Terima kasih atas pengertiannya..