Kebijakan Pemerintah Era SBY

Saturday, 5 July 2014



“Kebijakan Pangan Pada Sektor Pertanian”

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan doktor lulusan Institut Pertanian Bogor. Dia menulis disertasi bertajuk 'Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal'.
Pada awal pemerintahannya di tahun 2004 lalu, SBY sebenarnya sudah menyusun sebuah Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) selama 20 tahun ke depan. Dalam rencana pembangunan yang merupakan pengganti GBHN di era Orde Baru itu, SBY sebenarnya sudah dengan jitu bisa memetakan berbagai masalah yang akan dihadapi Indonesia ke depan. Dalam rancangan itu sudah disebutkan, Indonesia akan menghadapi masalah seperti krisis air, krisis energi dan krisis pangan.
Pemerintahan SBY sendiri dalam RPJP sudah menyebutkan berbagai ancaman krisis itu harus diantisipasi sejak dini. Khusus soal pangan, dalam rancangan itu juga disebutkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh sektor pertanian.
Pembenahan sektor pertanian, termasuk mendorong pasokan bahan pangan dari dalam negeri dinilai SBY akan menyejahterakan masyarakat. Sebab, seperti ditulis presiden dalam salah satu bab disertasinya, "semakin tinggi upah di pertanian semakin berkurang kemiskinan di pedesaan".
Menurut Koordinator Aliansi Desa Sejahtera (ADS) Tejo Wahyu Jatmiko dimulai ketika SBY menyusun 11 prioritas pembangunan nasional. Dalam daftar ini yang menjadi prioritas utama adalah reformasi birokrasi dan tata kelola disusul pendidikan dan penanggulangan kemiskinan. Sementara ketahanan pangan termasuk masalah pertanian di dalamnya ditaruh pada posisi nomor lima. “Akibatnya perhatian pemerintah terhadap pertanian sangat kecil,” kata Tejo kepada Gresnews.com, Selasa (29/4).
Karena bukan merupakan prioritas pertama, maka eksekutif dan legislatif hanya bisa memberikan budget sekitar 6-7% dari total APBN. Ini sangat jauh dari saran lembaga pangan dunia FAO yang menyatakan negara hendaknya menyisihkan 20 persen anggaran untuk memenuhi hak atas pangan rakyatnya di tengah situasi pangan yang bergejolak. “Prioritas yang rendah ini juga mengakibatkan lemahnya implementasi kebijakan pangan di lapangan,” kata Tejo.
Karena hal tersebut diatas, untuk itu Bapak Presiden SBY melakukan beberapa kebijakan pangan khususnya sektor pertanian yang akan kita bahas kali ini. Dari banyaknya kebijakan yang telah dilakukan, saya hanya akan membahas 2 kebijakan yang menurut saya tidak perlu untuk dilakukan. Berikut pembahasannya:

A.    Kebijakan dengan Menaikan Impor Pangan
Terlepas dari karya tulis yang dihasilkan presiden pada 2004 lalu itu, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat realisasi kebijakan selama hampir 10 tahun SBY menjabat presiden, tak sesuai disertasinya. Dua kali periode di kursi RI 1, pembukaan keran impor, justru menjadi pilihannya buat menurunkan harga pangan.
Alasannya, cadangan bahan pangan utama nasional seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, cabai dan bawang merah tidak mencukupi kebutuhan sehingga memicu lonjakan harga. Hal itu nampak dari data yang dihimpun Bappenas terhadap tujuh jenis bahan pangan utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Menurut data yang dikutip merdeka.com dari laporan Pencapaian Kinerja Pembangunan Periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan KIB II terbitan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) catatan importasi bahan pangan utama sepanjang KIB II meningkat cukup besar dibanding dengan KIB I.
Impor pangan Indonesia sejak tahun 2009-2012 cenderung meningkat. Angka tertinggi dicapai pada tahun 2011 dengan volume mencapai 22,9 juta ton dan nilai impor mencapai US$20,58 miliar. Hal ini jelas menunjukkan pemerintah tidak berpihak pada produsen pangan skala kecil sebagai tulang punggung ketahanan pangan nasional.
Untuk itu karena mayoritas orang Indonesia mengkonsumsi nasi/beras sebagai bahan makanan pokok, maka saya akan membahas tentang kebijakan para petani di negeri ini.
Hasil survei Petani Center NGos tahun 2007 menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektare kalah dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektare untuk sekali musim tanam memerlukan biaya produksi sebanyak Rp 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja, pemeliharaan, dan lain-lain.
Sementara itu, hasil dari produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektare yang dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp 3,5 juta hingga Rp 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapatkan laba Rp 700.000 per bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga beras petani semakin anjlok, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh para petani negeri ini.

B.     Kebijakan Peluncuran Perpes 39/2014
Di tengah kebutuhan mendesak akan kemandirian dan konsolidasi modal dalam negeri yang melibatkan tenaga dan modal produktif rakyat petani sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, rezim SBY justru melahirkan kebijakan liberalisasi sektor pertanian. Pada 23 April 2014 lalu, Perpres 39/2014 tentang “Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal diberlakukan. Pepres tersebut semakin meyakinkan penyimpangan ke arah liberalisasi penuh sistem ekonomi Indonesia.
Diakhir periode kekuasaan, SBY justru meninggalkan kebijakan yang akan semakin menyingkirkan petani dan pertanian dari tangan rakyat. Sektor Pertanian dalam Perpres tersebut dijadikan salah satu bidang usaha yang diliberalisasi dengan kepemilikan modal asing 30-95% (daftar terlampir). Perpres tersebut lahir dari pelakasnaan UU No 25/2007 Tentang Penanaman Modal yang sangat liberal. Kebijakan tersebut berdampak pada tersingkirnya tenaga produktif pertanian, baik dalam bentuk tenaga produksi tani dan modal.
Dibukanya investasi pertanian pangan, industri bibit hingga GMO kepada investor asing, semakin menandakan bahwa rencana pembangunan pertanian nasional kita bukan mentransformasikan petani menjadi pemilik dan pelaku usaha modern yang disupport pemerintah melalui tanah, modal dan teknologi dalam skema reforma agraria.
Dibukanya investasi ini akan semakin membawa perubahan aktor pertanian pangan ke arah penguasaan korporasi, ini melanjutkan trend yg telah terjadi, dimana jumlah petani menurun hingga 5,04 juta rumah tangga dan jumlah perusahaan pertanian pangan yg menguasai pangan masyarakat semakin meningkat hingga 5.486 perusahaan (Sensus Pertanian 2013).
Potret buram gagalnya kebijakan pangan pemerintahan SBY ini, menurut Koordinator Pokja Beras ADS Said Abdullah bisa dilihat dari beberapa indikator. Pertama, dari sisi jumlah rumah tangga pertanian. Selama sepuluh tahun belakangan ini dari tahun 2003-2013, jumlah rumah tangga petani menghilang sebesar 5 juta rumah tangga. Mereka mayoritas adalah petani dengan lahan kurang dari 1000 m2. Jika di tahun 2003 masih ada sekitar 31,17 juta rumah tangga, maka di tahun 2013 hanya tersisa 26,13 juta rumah tangga.
Selain itu, lahan pertanian juga menyusut rata-rata seluas 110.000 hektare setiap tahunnya. Padahal di satu sisi untuk hal ini pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 14/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. “Hanya saja implementasinya sangat lemah karena diserahkan kepada provinsi dan kabupaten tanpa ada koordinasi dan rencana yang berkesinambungan,” kata Said kepada Gresnews.com.

Keuntungan atas 2 kebijakan yang telah dibuat:
1.      Meningkatkan anggaran APBN untuk pupuk murah dan bersubsidi dari tahun 2004 sampai sekarang, yang meningkat dari Rp 1,8 triliun menjadi Rp 5,8 triliun, atau naik  sebesar 350 %.
2.      Meningkatkan Anggaran untuk benih unggulan gratis dulu Rp 80,9 miliar kini menjadi Rp 1 triliun, atau meningkat 1300 %.
3.      Meningkatkan Subsidi bunga untuk petani plasma di perkebunan jumlahnya sekitar Rp 1 triliun.
4.      Pada tahun 2007 sektor pertanian secara umum telah terjadi kemajuan. Ada peningkatan produksi padi, peternakan, perikanan dan perkebunan. Ada peningkatan penanaman modal, baik modal dalam negeri maupun modal asing.
Kerugian atas 2 kebijakan yang telah dibuat:
1.      Pertanian kini tidak lagi menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi dimana sumbangannya sejak 2007-2013 hanya sebesar rata-rata 3-4 persen. Jika dibandingkan dengan sektor jasa dan properti yang menyumbang pertumbuhan hingga 8-9 persen.
2.      Berkurangnya jumlah petani yang ada di Indonesia.
3.      Berkurangnya lahan untuk pertanian karena pengalihfungsian atas industrialisasi perusahaan.
4.      Impor yang dilakukan pemerintah menimbulkan inflasi yang tinggi, karena impor yang dilakukan lebih banyak dibandingkan dengan ekspornya.
5.      Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuannya masih di bidang agraris.
6.      Para petani mendapatkan upah yang sangat kecil dibandingkan dengan upah yang ada di perkotaan.
7.      Jumlah kemiskinan di pedesaan meningkat.


Kesimpulan : 
Pemerintah menargetkan kemiskinan turun hingga 8 persen pada kenyataannya angka kemiskinan masih relatif tinggi terutama di pedesaan dimana sebagain besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Pada tahun 2013 angka kemiskinan mencapai 11,4 persen atau 28,1 juta orang. Angka ini memang turun hingga 2 persen jika dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 13.33 persen.
Sementara pada tahun 2012, walaupun menurun justru Indeks Kedalaman Kemiskinan di pedesaan meningkat dari 2,36 menjadi 2,42. Adapun Indeks Keparahan Kemiskinan di pedesaan juga meningkat dari 0,59 menjadi 0,61.
Setelah membahas kebijakan-kebijakan tersebut di atas, maka dapat saya simpulkan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kali ini sangat tidak membantu para petani, Produksi dalam negeri semakin tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri, bahkan para petani banyak yang mengalokasikan lahan pertaniannya menjadi lahan industri. Kemiskinan di daerah perdesaan lebih buruk dari daerah perkotaan. Jika demikian maka pembangunan sektor pertanian belum bisa memberikan dampak yang besar pada petani. Petani masih berstatus warga miskin.


Saran saya untuk kebijakan di sektor pertanian masa mendatang yaitu:
1         Memulihkan kemampuan produsen pangan skala kecil dengan menata sumber-sumber agraria.
2         Meningkatkan investasi publik untuk pangan.
3         Melindungi pasar pangan lokal dari liberalisasi.
4         Menghentikan pemberian lahan kepada perusahaan besar dan konversi lahan pangan.
5         Memperbaiki tata kelola pangan nasional.
6         Melakukan diversifikasi pangan sesuai potensi lokal.
7         Pemanfaatan inovasi dan teknologi yang bisa dikuasai penghasil pangan skala kecil.

Sumber:
http://sbykita.wordpress.com/sby-untuk-pertanian/



0 comments:

Post a Comment

Selamat datang di blog saya

Jangan lupa untuk meninggalkan komentar anda ya sobat.
Sangat diharapkan menggunakan kata yang sopan
dan tidak mengandung unsur pornografi maupun SARA.

Terima kasih atas pengertiannya..